Curug Nangga: Pesona Tujuh Tingkatan yang Belum Banyak Diketahui

Review Curug Nangga 7 Tingkat Hutan Petahunan.
Gambar Curug Nangga

Perjalanan dari Kejobong menuju Curug Nangga pada hari Minggu pagi itu sebenarnya dimulai sehari sebelumnya. Sabtu malam, seperti kebiasaan saya sebelum traveling, saya memastikan semua perlengkapan sudah siap. Dari bekal makanan, pakaian ganti, hingga kamera untuk mengabadikan momen. Iya, kamera ini penting. Bukan buat pamer, tapi setidaknya biar saya punya alasan buat bilang, “Ah, foto ini jelek, besok harus ke sana lagi!” Apalagi kalau fotonya blur gara-gara saya lupa bawa tripod. 

***

Persiapan Sebelum Berangkat

Pagi itu, saya bangun agak telat, sekitar jam 7 pagi. Rencana awal sih ingin berangkat lebih pagi, biar bisa sampai di Curug Nangga sebelum orang-orang berduyun-duyun datang. Tapi ya, manusia berencana, selimut menentukan. Walaupun saya sudah punya niat baik bangun lebih awal, kenyataan berkata lain. Setelah beres-beres dan sarapan bubur ayam (biar ringan, tapi kenyang), saya siap berangkat.

Motor adalah teman setia saya untuk perjalanan kali ini. Sebagai orang yang lebih suka fleksibilitas dalam perjalanan, motor memang pilihan paling ideal. Bisa berhenti kapan saja, terutama jika tiba-tiba menemukan warung kopi menarik di pinggir jalan. Selain itu, motor juga bikin perjalanan lebih “intim” dengan alam. Saya bisa merasakan angin yang sepoi-sepoi di wajah, meskipun kadang-kadang artinya juga menelan debu dari truk yang lewat.

***

Perjalanan Dimulai

Dari Kejobong, saya mulai perjalanan menuju Curug Nangga dengan rute yang cukup mulus di awal. Jalanan aspal di daerah Purbalingga memang lumayan baik, tapi begitu mendekati area curug, siap-siap berhadapan dengan jalan berbatu yang tidak begitu bersahabat. Tapi sebelum sampai ke bagian jalan yang agak menantang itu, saya bisa menikmati pemandangan sawah yang terbentang luas di kanan dan kiri jalan. Pemandangan ini selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Ada yang menenangkan dari melihat petani sibuk bekerja, memanen padi, atau sekadar berdiri di tengah sawah sambil memandang langit. Mungkin mereka sedang berpikir keras, “Hari ini, makan siang enaknya pakai tempe atau tahu ya?”

Sekitar setengah jam perjalanan, tibalah saya di daerah yang mulai berbukit-bukit. Nah, di sinilah tantangan sebenarnya dimulai. Jalanan yang tadinya nyaman berubah jadi lebih menantang. Batu-batu besar berserakan, dan jalan yang sempit membuat saya harus lebih waspada. Tapi justru inilah bagian serunya. Motor saya meliuk-liuk di antara bebatuan, sedikit bergoyang seperti penari dangdut yang sedang tampil di acara pernikahan. Jangan lupa senyum, biar tetap semangat!

Beberapa kali saya berhenti sejenak, bukan karena capek, tapi karena ingin menikmati pemandangan. Bukit-bukit hijau di sekitar saya seperti mengajak saya untuk lebih lama memandangi mereka. Angin yang sejuk, dan langit yang cerah, membuat perjalanan ini benar-benar terasa seperti liburan singkat dari rutinitas.

***

Sampai di Curug Nangga

Setelah sekitar satu jam lebih di perjalanan, akhirnya saya tiba di Curug Nangga. Di depan pintu masuk, ada area parkir sederhana. Saya segera memarkirkan motor dan mulai merasakan aura petualangan semakin dekat. Dari area parkir, untuk mencapai curug, pengunjung harus berjalan kaki sekitar 10-15 menit. Jalan setapak menuju curug cukup menantang, dengan tanah yang sedikit licin karena sisa hujan semalam. Tapi hey, apa serunya kalau semuanya mulus-mulus saja, kan?

Suara gemericik air mulai terdengar semakin jelas seiring saya mendekati curug. Sensasi inilah yang membuat perjalanan panjang tadi seolah tidak berarti. Semakin dekat ke sumber air, semakin terasa semangat untuk melihat langsung keindahan alam ini.

Saat sampai di Curug Nangga, saya terdiam sejenak. Pemandangan air terjun tujuh tingkat ini memang luar biasa. Aliran air yang mengalir deras dari satu tingkat ke tingkat berikutnya menciptakan suasana yang sangat damai. Udara di sekitar juga terasa lebih sejuk, mungkin karena percikan air yang lembut menghantam bebatuan di bawahnya. Di sini, saya bisa merasakan betapa kecilnya diri saya di hadapan keindahan alam yang begitu agung.

Beberapa pengunjung sudah lebih dulu sampai. Ada yang sedang asyik berfoto, ada juga yang duduk-duduk santai di batu besar sambil menikmati bekal mereka. Saya mencari spot yang agak sepi, lalu duduk di bawah pohon sambil mengeluarkan kamera. Sambil memotret, saya juga menyempatkan diri merenung, “Kenapa ya kalau air terjun ini punya tujuh tingkat? Kenapa nggak delapan, atau sembilan?” Ya, mungkin biar lebih mudah diingat saja.

***

Menikmati Kegiatan di Curug

Setelah puas mengambil beberapa foto, saya memutuskan untuk lebih dekat dengan air terjun. Bukan untuk mandi sih, karena airnya cukup dingin, tapi setidaknya merasakan percikan air langsung di kulit saya adalah hal yang wajib dilakukan. Percikan air terasa menyegarkan, dan suara aliran air yang jatuh dari ketinggian memberikan sensasi menenangkan. Rasanya seperti mendengarkan musik alam yang berirama.

Tak jauh dari tempat saya berdiri, ada sekelompok anak muda yang sedang bermain air dengan riangnya. Salah satu dari mereka tiba-tiba terpeleset dan jatuh ke air, diikuti oleh tawa teman-temannya. Saya tersenyum melihat kejadian itu, sambil berpikir, “Kalau saya yang jatuh seperti itu, mungkin saya akan pura-pura meditasi, biar terlihat keren.”

Setelah beberapa saat, saya kembali ke tempat duduk di bawah pohon, membuka bekal yang sudah saya siapkan. Makan sambil menikmati pemandangan alam adalah salah satu kenikmatan hidup yang sederhana. Saat mengunyah nasi bungkus dan ayam goreng, saya melihat burung-burung kecil terbang di sekitar, menambah kesan damai di tempat ini. Rasanya seperti sedang berada di dunia yang berbeda, jauh dari hiruk-pikuk kota dan segala kesibukan sehari-hari.

***

Waktu untuk Pulang

Waktu terasa berjalan sangat cepat ketika sedang menikmati alam. Tak terasa, matahari sudah mulai condong ke barat. Sebelum benar-benar pergi, saya berjalan mengitari area sekitar curug sekali lagi, memastikan tidak ada momen atau sudut yang terlewatkan untuk diabadikan. Rasanya seperti ingin mengingat setiap detail dari tempat ini, agar bisa kembali suatu hari nanti dengan cerita yang berbeda.

Perjalanan pulang kembali melalui jalan yang sama. Namun, kali ini rasanya lebih ringan, mungkin karena hati saya sudah dipenuhi oleh ketenangan setelah menghabiskan waktu di Curug Nangga. Saat melewati jalan berbatu, saya sempat melirik ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Niat awalnya sih cuma mau beli teh botol, tapi begitu masuk, saya tergoda oleh gorengan panas yang baru saja diangkat dari wajan. “Ah, rezeki nggak boleh ditolak,” pikir saya sambil menggigit tempe mendoan hangat yang kriuk di luar, lembut di dalam. Sungguh, nikmat Tuhan mana lagi yang ingin saya dustakan?

***

Perjalanan ini adalah salah satu dari banyak petualangan yang akan saya bagi di blog ini. Setiap tempat punya ceritanya sendiri, dan Curug Nangga dengan tujuh tingkat keindahannya adalah salah satu pengalaman yang akan terus saya kenang. Buat Anda yang belum pernah ke sini, saya sangat merekomendasikan untuk datang dan merasakan sendiri pesona air terjun ini. Jangan lupa, bawa kamera, dan tentu saja, semangat petualangan!

Di akhir hari, saya tiba di rumah dengan tubuh yang lelah, tapi hati yang puas. Mungkin besok harus istirahat dulu, tapi siapa tahu, minggu depan saya akan menemukan destinasi lain yang tidak kalah menarik untuk dijelajahi.

***

Demikianlah cerita perjalanan santai saya ke Curug Nangga. Bagaimana, sudah siap untuk menjadikan tempat ini sebagai destinasi liburan Anda berikutnya?

***

Informasi Lokasi

Alamat: Curug Nangga, Petahunan, Kabupaten Banyumas, Jawa Jengah 53164
Google Maps🗺️: Curug Nangga
Foto-Foto 📸: Curug Nangga
HTM 💵: 8K / orang